a. Periode Tahun 1945 - 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih
menekankan pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui
organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan
pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara
formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara
(konstitusi), yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bersamaan dengan itu prinsip
kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai sendi
bagi penyelenggaraan negara Indonesia merdeka. Komitmen terhadap HAM pada
periode awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 1 November 1945 yang menyatakan :
“…sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan
umum sebagai bukti bahwa bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu
benar-benar dasar dan
pedoman penghidupan
masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah
akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang
terbanyak.”
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada
rakyat untuk mendirikan partai
politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945
yang antara lain menyatakan:
1) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai
politik, karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke
jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat;
2) Pemerintah berharap partai-partai itu telah
tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat
pada bulan Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam kaitan dengan HAM adalah
adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari
presidensil menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang dalam Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945. Isi Maklumat tersebut adalah:
“Pemerintah Republik Indonesia setelah
mengalami ujian-ujian yang ketat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari
usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat utnuk
menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara
kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan
kabinet baru itu ialah tanggung jawab adalah di dalam tangan menteri”.
b. Periode Tahun 1950 - 1959
Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara
Indonesia dikenal dengan sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM
pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana
kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer
mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof.
Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang”
dan menikmati “bulan madu” kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata negara ini ada 5 (lima) aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik
dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers
sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga,
pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat, parlemen atau
dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan
kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin
efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang
HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang
memberikan ruang kebebasan. Dalam
perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda
aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM
masuk dalam UUD serta menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota
Konstituante keberadaannya mendahului bab-bab UUD.
c Periode Tahun 1959 - 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku
adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap
sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan
terpusat dan berada di tangan Presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin
Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran suprastruktur
politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM,
telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik
seperti hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan.
Dengan kata lain telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh
kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.
d. Periode Tahun 1966 - 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari
Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode
ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM
dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya
pembentukan pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah
Asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang
merekomendasikan perlunya hak uji materil (judicial
review) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Seperti yang dikemukakan oleh Archibald Cox bahwa hak uji materil
tidak lain diadakan dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS1966, MPRS
melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam
Piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara.
Sebagai Ketua MPRS A.H. Nasution dalam pidatonya menyatakan sebagai berikut:
“Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah
hak-hak yang dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan
hak-hak asasi, yang berimbalan dengan kewajiban-kewajiban. Dalam pengabdian sepenuhnya
kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
dalam hubungan yang timbal balik: a. antar manusia dengan manusia; b. antar
manusia dengan Bangsa, Negara dan Tanah Air; antar Bangsa. Konsepsi HAM ini
sesuai dengan kepribadian Pancasila yang menghargai hak individu dalam
keselarasannya dengan kewajiban individu terhadap masyarakat”.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an
sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran,
karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran penguasa
pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagai
produk Barat dan individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan
yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah pada masa ini bersifat mempertahankan produk
hukum yang umumnya membangun terhadap pelaksanaan HAM. Sikap pemerintah
tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila
serta Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang
dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi
Universal HAM. Selain itu, sikap pemerintah ini didasarkan pada anggapan bahwa
isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara
yang sedang berkembang seperti halnya negara Indonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami
kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode
ini terutama di kalangan masyarakat yang dimotori oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan masyarakat akademisi yang fokus terhadap penegakan HAM.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi
inetrnasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung
Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang
periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi
pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif ke strategi
akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu
sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun
1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan
menyelidiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran
kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Selain itu Komisi ini bertujuan untuk
membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang
sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (termasuk hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Piagam Madinah, Khutbah Wada’,
Deklarasi Kairo dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait
dengan penegakan HAM. Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia
dikenal dengan sebutan periode demokrasi parlementer.
Pemikiran HAM pada periode ini sangat
membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal
atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan para penguasa. Hal
ini seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan, seorang pemikir dan mantan
Ketua Mahkamah Agung RI yang menjelaskan bahwa pelaksanaan HAM pada periode ini
mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu” kebebasan. Indikatornya menurut beliau
terdapat 5 (lima) aspek, yaitu; Pertama,
semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya
masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai salah satu pilar
demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan
umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, adil
dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat
sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya
sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap
eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan
iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang
kebebasan. Dalam perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik
yang berbeda aliran dan ideologi
sepakat tentang substansi HAM bersifat universal dan pentingnya HAM dimasukan
kedalam Undang-Undang Dasar serta menjadi bab tersendiri.
e. Periode Tahun 1998 - sekarang
Pergantian pemerintahan pada tahun 1998 memberikan
dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada
saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde
baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya, dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di
Indonesia. Demikian pula dilakukan pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen
HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut
menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan
penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional dalam bidang HAM.
|
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie,
penghormatan dan pemajuan HAM mengalami perkembangan yang sangat berarti, hal
itu ditkaliani dengan adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan
disahkannya (diratifikasi) sejumlah konvensi HAM yaitu: Konvensi menentang
Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU No. 5/1999; Konvensi ILO No.
87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dengan
kepperes No. 83/1998; Konvensi ILO No. 105 tentang penghapusan kerja paksa
dengan UU No. 19/1999; Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam
pekerjaan dan jabatan dengan UU No. 21/1999; Konvensi ILO No. 138 tentang usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan UU No. 20/1999. Selain itu juga
dicanangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM” pada tanggal 15 Agustus 1998
yang didasarkan pada empat hal yaitu:
1. Persiapan pengesahan perangkat
internasional di bidang HAM
2. Desiminasi informasi dan Pendidikan bidang
HAM
3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM
Pelaksanaan
isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui
perundang-undangan nasional.
0 comments:
Post a Comment