Thursday, April 2, 2015

Upaya Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia



a.   Periode Tahun 1945 - 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi), yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bersamaan dengan itu prinsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan negara Indonesia merdeka. Komitmen terhadap HAM pada periode awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang menyatakan :
“…sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak.”
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan       partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang antara lain menyatakan:
1)  Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat;
2)  Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam kaitan dengan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensil menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Isi Maklumat tersebut adalah:
Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang ketat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat utnuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah tanggung jawab adalah di dalam tangan menteri”.



b.  Periode Tahun 1950 - 1959
Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu” kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata negara ini ada 5 (lima) aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi     berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang      kebebasan. Dalam perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD serta menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota Konstituante keberadaannya mendahului bab-bab UUD. 

c   Periode Tahun 1959 - 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan Presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Dengan kata lain telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.

d.  Periode Tahun 1966 - 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil (judicial review) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Seperti yang dikemukakan oleh Archibald Cox bahwa hak uji materil tidak lain diadakan dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS1966, MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara. Sebagai Ketua MPRS A.H. Nasution dalam pidatonya menyatakan sebagai berikut:
“Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan hak-hak asasi, yang berimbalan dengan kewajiban-kewajiban. Dalam pengabdian sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam hubungan yang timbal balik: a. antar manusia dengan manusia; b. antar manusia dengan Bangsa, Negara dan Tanah Air; antar Bangsa. Konsepsi HAM ini sesuai dengan kepribadian Pancasila yang menghargai hak individu dalam keselarasannya dengan kewajiban individu terhadap masyarakat”.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran penguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah pada masa ini bersifat mempertahankan produk hukum yang umumnya membangun terhadap pelaksanaan HAM. Sikap pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Selain itu, sikap pemerintah ini didasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti halnya negara Indonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama di kalangan masyarakat yang dimotori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat akademisi yang fokus terhadap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi inetrnasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Selain itu Komisi ini bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (termasuk hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Piagam Madinah, Khutbah Wada’, Deklarasi Kairo dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penegakan HAM. Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode demokrasi parlementer.
Pemikiran HAM pada periode ini sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan para penguasa. Hal ini seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan, seorang pemikir dan mantan Ketua Mahkamah Agung RI yang menjelaskan bahwa pelaksanaan HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu” kebebasan. Indikatornya menurut beliau terdapat 5 (lima) aspek, yaitu;  Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, adil dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Dalam perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang    berbeda aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM bersifat universal dan pentingnya HAM dimasukan kedalam Undang-Undang Dasar serta menjadi bab tersendiri.
 

e.  Periode Tahun 1998 - sekarang
Pergantian pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya, dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula dilakukan pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional dalam bidang HAM.
 Alm. MUNIR, Tokoh   HAM
 
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan (prescriptive status) dan tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap status penentuan (prescriptive status) telah ditetapkannya beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi negara (undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), ketetapan MPR (TAP MPR), undang-undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, penghormatan dan pemajuan HAM mengalami perkembangan yang sangat berarti, hal itu ditkaliani dengan adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya (diratifikasi) sejumlah konvensi HAM yaitu: Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU No. 5/1999; Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dengan kepperes No. 83/1998; Konvensi ILO No. 105 tentang penghapusan kerja paksa dengan UU No. 19/1999; Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan dengan UU No. 21/1999; Konvensi ILO No. 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan UU No. 20/1999. Selain itu juga dicanangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM” pada tanggal 15 Agustus 1998 yang didasarkan pada empat hal yaitu:
1.      Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM
2.      Desiminasi informasi dan Pendidikan bidang HAM
3.      Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM
Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.  

0 comments:

Post a Comment